Sabtu, 22 November 2008

Ajak Boikot Pemilu




Hubungan Internasional bila di brake down menjadi unit yang lebih kecil pada dasarnya adalah hal-hal mengenai interaksi antar individu. Interaksi antar individu muncul karena adanya kebutuhan dasar manusia. Bagi beberapa manusia, kebutuhan tidak hanya seputar kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan, melainkan juga kebutuhan akan kekuasaan. Definisi kekuasaan tidak jauh dari bagaimana usaha mempengaruhi orang agar melakukan atau tidak melakukan hal-hal sesuai yang kita inginkan. Kekuasaan tidak memiliki tepi, ibarat air laut yang semakin diminum maka akan semakin haus, ibarat orang dikasih hati minta ampela.
Pada Harian Kompas edisi Kamis, 20 November 2008 halaman 2 pada rubrik KILAS POLITIK & HUKUM, nampak gambar seseorang sedang berbicara dalam suatu press conference. Tulisan di bawah foto tersebut sebagai berikut: ” KH Abdurrahman Wahid menggelar jumpa pers di Kantor PB Nahdlatul Ulama, Jakarta, Rabu (19/11). Abdurrahman meminta pimpinan Dewan Pimpinan Wilayah dan Dewan Pimpinan Cabang Partai Kebangkitan Bangsa seluruh Indonesia yang masih loyal kepadanya untuk memboikot pelaksanaan pemilu mendatang.”

Miris rasanya membaca tulisan tersebut, apalagi orang yang disebut-sebut dalam tulisan itu dianggap sebagai Guru Bangsa bagi negara dan masyarakat Indonesia. Nampaknya, orang tersebut masih tidak legowo dengan apa yang pernah menimpa dirinya pada waktu lalu. Seperti yang telah kita ketahui bersama, orang tersebut pernah menjadi Presiden RI ke-4 setelah Soekarno, Soeharto, dan Habiebie. Namun, ditengah kepemimpinannya saat itu, orang tersebut ’diberhentikan’ dan digantikan oleh Megawati. Memang dalam kepemimpinan nasional di Indonesia, siapapun presidennya selalu memiliki kontroversinya sendiri-sendiri. Orang yang disebut-sebut dalam rubrik di Kompas tersebut dikenal suka menggampangkan dan menyepelekan masalah (melalui ucapannya yang begitu populer: gitu aja kok repot!), suka keliling ke luar negeri, memiliki keterbatasan fisik (yang kemudian selalu dimanfaatkan oleh para penjilat kekuasaan yang berada di sekelilingnya) dan suka guyon. Di luar itu, orang tersebut memiliki kharisma luar biasa di mata para pengikutnya khususnya di Jawa Timur (dikenal dengan nama daerah tapal kuda) maupun di organisasi masyarakat dimana ia menjabat sebagai dewan syuro.

Pada saat dia terpilih sebagai presiden saja sudah muncul pro dan kontra. Terpilihnya dia seringkali dikait-kaitkan dengan perilaku bagi-bagi kekuasaan yang dilakukan oleh elit politik nasional, entah itu kelompok golongan putih lah, poros tengah lah, aliansi kebangsaan lah, kelompok hijau dsb. Dengan kata lain, dia diangkat menjadi presiden dalam rangka memuaskan semua golongan (karena golongan yang lain dipuaskan melalui pembagian kekuasaan di posisi strategis lain). Nah, ketika suatu golongan kemudian merasa tidak terpuaskan, maka muncullah upaya pengambilalihan kekuasaan.

Ada momen yang saya ingat pada waktu orang tersebut didesak untuk mundur dari kursi kepresidenan, yaitu dia keluar malam-malam di teras Istana Negara (pada waktu itu sempat diusulkan menjadi Wisma Negara agar dekat dengan rakyat walaupun sebenarnya dia masih tetap merupakan istana bagi sang kepala negara) dengan hanya menggunakan kolor dan celana kolor; sambil melambai-lambaikan tangan ke arah demonstran dan para wartawan. Oleh sang juru bicara kepresidenan saat itu, peristiwa itu digambarkan sebagai pertanda bahwa kondisi negara masih aman terkendali, bahsan sampai-sampai sang presiden dapat santainya berjalan-jalan diluar. Nyatanya, beberapa hari kemudian dia mundur karena desakan yang sangat kuat dari banyak pihak.

Jika saya diposisi orang tersebut, maka wajar bila saya sakit hati atas perlakuan yang menimpa saya. Hakikat politik adalah kekuasaan; kekuasaan diupayakan, kalau perlu direbut dengan segala cara; bila kekusasaan sudah di tangan, maka harus dipertahankan dan dipupuk agar terus berkembang dan semakin kokoh; bila kekuasaan hilang maka harus diusahakan kembali hingga anak cucu. Tak salah jika saya akan mengajukan diri lagi sebagai presiden 2009 meskipun hambatan usia dan kesehatan akan menjadi penghalang utama. Toh, saya memiliki basis massa yang kuat.

Masalahnya adalah etiskah seseorang yang telah dianggap sebagai sesepuh bangsa yang dihormati banyak kalangan (semua calon presiden 2009 akan sungkem dan mohon doa restu orang ini) mengajak masyarakat untuk memboikot pemilu 2009? Padahal pemilihan umum (Pemilu Indonesia sangat lebih demokratis daripada pemilu AS karena prinsip pemilu langsung one man one vote) adalah wujud demokrasi yang juga sering diagung-agungkan orang tersebut (pemerintahan orang tersebut disebut-sebut sebagai era keterbukaan, yang merupakan pilar demokrasi, antara lain dengan memberikan kebebasan pers dan hak bersuara).

Pertama kali menyimak tulisan tersebut, muncul dalam benak saya mengenai betapa sulitnya untuk berbuat ikhlas.