Sabtu, 22 November 2008

Ajak Boikot Pemilu




Hubungan Internasional bila di brake down menjadi unit yang lebih kecil pada dasarnya adalah hal-hal mengenai interaksi antar individu. Interaksi antar individu muncul karena adanya kebutuhan dasar manusia. Bagi beberapa manusia, kebutuhan tidak hanya seputar kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan, melainkan juga kebutuhan akan kekuasaan. Definisi kekuasaan tidak jauh dari bagaimana usaha mempengaruhi orang agar melakukan atau tidak melakukan hal-hal sesuai yang kita inginkan. Kekuasaan tidak memiliki tepi, ibarat air laut yang semakin diminum maka akan semakin haus, ibarat orang dikasih hati minta ampela.
Pada Harian Kompas edisi Kamis, 20 November 2008 halaman 2 pada rubrik KILAS POLITIK & HUKUM, nampak gambar seseorang sedang berbicara dalam suatu press conference. Tulisan di bawah foto tersebut sebagai berikut: ” KH Abdurrahman Wahid menggelar jumpa pers di Kantor PB Nahdlatul Ulama, Jakarta, Rabu (19/11). Abdurrahman meminta pimpinan Dewan Pimpinan Wilayah dan Dewan Pimpinan Cabang Partai Kebangkitan Bangsa seluruh Indonesia yang masih loyal kepadanya untuk memboikot pelaksanaan pemilu mendatang.”

Miris rasanya membaca tulisan tersebut, apalagi orang yang disebut-sebut dalam tulisan itu dianggap sebagai Guru Bangsa bagi negara dan masyarakat Indonesia. Nampaknya, orang tersebut masih tidak legowo dengan apa yang pernah menimpa dirinya pada waktu lalu. Seperti yang telah kita ketahui bersama, orang tersebut pernah menjadi Presiden RI ke-4 setelah Soekarno, Soeharto, dan Habiebie. Namun, ditengah kepemimpinannya saat itu, orang tersebut ’diberhentikan’ dan digantikan oleh Megawati. Memang dalam kepemimpinan nasional di Indonesia, siapapun presidennya selalu memiliki kontroversinya sendiri-sendiri. Orang yang disebut-sebut dalam rubrik di Kompas tersebut dikenal suka menggampangkan dan menyepelekan masalah (melalui ucapannya yang begitu populer: gitu aja kok repot!), suka keliling ke luar negeri, memiliki keterbatasan fisik (yang kemudian selalu dimanfaatkan oleh para penjilat kekuasaan yang berada di sekelilingnya) dan suka guyon. Di luar itu, orang tersebut memiliki kharisma luar biasa di mata para pengikutnya khususnya di Jawa Timur (dikenal dengan nama daerah tapal kuda) maupun di organisasi masyarakat dimana ia menjabat sebagai dewan syuro.

Pada saat dia terpilih sebagai presiden saja sudah muncul pro dan kontra. Terpilihnya dia seringkali dikait-kaitkan dengan perilaku bagi-bagi kekuasaan yang dilakukan oleh elit politik nasional, entah itu kelompok golongan putih lah, poros tengah lah, aliansi kebangsaan lah, kelompok hijau dsb. Dengan kata lain, dia diangkat menjadi presiden dalam rangka memuaskan semua golongan (karena golongan yang lain dipuaskan melalui pembagian kekuasaan di posisi strategis lain). Nah, ketika suatu golongan kemudian merasa tidak terpuaskan, maka muncullah upaya pengambilalihan kekuasaan.

Ada momen yang saya ingat pada waktu orang tersebut didesak untuk mundur dari kursi kepresidenan, yaitu dia keluar malam-malam di teras Istana Negara (pada waktu itu sempat diusulkan menjadi Wisma Negara agar dekat dengan rakyat walaupun sebenarnya dia masih tetap merupakan istana bagi sang kepala negara) dengan hanya menggunakan kolor dan celana kolor; sambil melambai-lambaikan tangan ke arah demonstran dan para wartawan. Oleh sang juru bicara kepresidenan saat itu, peristiwa itu digambarkan sebagai pertanda bahwa kondisi negara masih aman terkendali, bahsan sampai-sampai sang presiden dapat santainya berjalan-jalan diluar. Nyatanya, beberapa hari kemudian dia mundur karena desakan yang sangat kuat dari banyak pihak.

Jika saya diposisi orang tersebut, maka wajar bila saya sakit hati atas perlakuan yang menimpa saya. Hakikat politik adalah kekuasaan; kekuasaan diupayakan, kalau perlu direbut dengan segala cara; bila kekusasaan sudah di tangan, maka harus dipertahankan dan dipupuk agar terus berkembang dan semakin kokoh; bila kekuasaan hilang maka harus diusahakan kembali hingga anak cucu. Tak salah jika saya akan mengajukan diri lagi sebagai presiden 2009 meskipun hambatan usia dan kesehatan akan menjadi penghalang utama. Toh, saya memiliki basis massa yang kuat.

Masalahnya adalah etiskah seseorang yang telah dianggap sebagai sesepuh bangsa yang dihormati banyak kalangan (semua calon presiden 2009 akan sungkem dan mohon doa restu orang ini) mengajak masyarakat untuk memboikot pemilu 2009? Padahal pemilihan umum (Pemilu Indonesia sangat lebih demokratis daripada pemilu AS karena prinsip pemilu langsung one man one vote) adalah wujud demokrasi yang juga sering diagung-agungkan orang tersebut (pemerintahan orang tersebut disebut-sebut sebagai era keterbukaan, yang merupakan pilar demokrasi, antara lain dengan memberikan kebebasan pers dan hak bersuara).

Pertama kali menyimak tulisan tersebut, muncul dalam benak saya mengenai betapa sulitnya untuk berbuat ikhlas.

Selasa, 16 September 2008

Otonomi Negara dan Interdependensi



Negara dalam persepsi hubungan internasional sering dianalogikan sebagai entitas yang sama dengan manusia. Seperti halnya manusia, negara memiliki hak untuk diperlakukan sebagai entitas yang otonom. Otonomi negara, seperti yang diungkapkan Pufendorf, merupakan elemen penting dalam moralitas negara yang terdiri atas dua prinsip utama yaitu prinsip non-intervention dan prinsip self-determination.

Prinsip non-intervention secara harfiah diterjemahkan sebagai prinsip tidak mencampuri urusan negara lain, sedangkan prinsip self-determination diartikan sebagai hak negara untuk menentukan ‘nasib’nya sendiri. Berdasarkan pengertian diatas, maka kedua prinsip tersebut secara implisit menunjukkan negara sebagai entitas yang otonom yang merdeka yaitu merdeka dari sesuatu dan merdeka untuk ‘melakukan’ sesuatu. Oleh karena itu, segala bentuk intervensi, kolonialisasi dan imperialisme dianggap sebagai tindakan yang melanggar hak otonomi negara dan equal liberty.

Dalam perkembangan hubungan internasional selanjutnya, muncul pula isu interdependency yang secara harfiah diartikan sebagai hubungan saling ketergantungan. Isu tersebut semakin berkembang sejalan dengan makin banyaknya negara modern dan aktor-aktor hubungan internasional baru yang melakukan interaksi dengan negara lain dalam rangka mencapai kepentingannya masing-masing. Interdependensi secara harfiah merupakan perwujudan manusia (negara) sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bantuan dari manusia lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maka ia akan berinteraksi sesamanya. Negara, seperti halnya manusia, dengan segala kelebihan dan kekurangannya melakukan interaksi dengan negara lain. Intensitas interaksi itulah yang kemudian memunculkan interdependensi (ketergantungan) asing.

Permasalahan yang timbul kemudian adalah banyak negara yang seakan mengorbankan hak otonominya dalam berinteraksi dengan negara lain terutama ketika negara tersebut telah terjerat dalam arus ketergantungan. Dalam kasus regionalisme misalnya, negara-negara yang tergabung dalam organisasi regional tersebut seakan dipaksa untuk meratifikasi kepentingan regional yang mungkin saja berbeda atau bahkan bertentangan dengan hukum dan kepentingan nasional. Dalam kasus lainnya, organisasi regional bahkan menjelma menjadi organisasi supranasional. Akibatnya, dalam penyelenggaraan pemerintahan misalnya, negara tidak dapat menerapkan prinsip self-determination secara penuh mengingat adanya keharusan untuk mengakomodasi kepentingan dari pihak asing. Organisasi internasional bahkan secara nyata melakukan intervensi terhadap suatu negara dengan dalih bermacam-macam misalnya dalam kasus pengelolaan resolusi konflik dan sebagainya.

Interdependency dalam hubungan internasional kontemporer merupakan kondisi yang tidak dapat dielakkan. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah dimana letak otonomi negara (self-determination dan non-intervention) dalam kondisi saling ketergantungan tersebut?


Otonomi Negara: Self-determination dan Non-intervention

Baik self-determination maupun non-intervention, keduanya merupakan simbol kedaulatan negara. Artinya, ketika negara kehilangan prinsip tersebut, maka bersiap-siaplah menghadapi kehancuran. Secara harfiah, prinsip self-determination diartikan sebagai prinsip hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan bertindak sesuai kepentingannya sendiri. Teori Self-determination berdasarkan pada organismic-dialectical meta theory yang mengasumsikan bahwa manusia adalah organisme aktif yang memiliki kecenderungan bawaan untuk tumbuh dan berkembang sehingga diharuskan untuk mandiri serta bekerja keras untuk mengatasi tantangan. Jika dipersonifikasikan dalam entitas negara, maka prinsip self-determination menjadi legitimasi bagi negara untuk mencukupi segala kebutuhannya. Raison d’etatnya, bahwa tujuan nasional adalah segala-galanya mengabaikan moral, subyektifitas personal, bahkan agama.

Prinsip self-determination merupakan salah satu prinsip paling penting dalam praktek dan hukum internasional kontemporer terutama pasca hancurnya imperialisme barat dan selesainya Perang Dunia II. Sebagai hasilnya, prinsip self-determination diterima sebagai prinsip utama dalam hukum internasional. Pada perkembangan selanjutnya, prinsip self-determination menjadi justifikasi bagi negara-negara terjajah untuk merdeka dari kolonialisme dan diperlakukan sama seperti negara lainnya sebagai entitas yang otonom. Hal tersebut dapat dilihat dari digunakannya semangat self- determination dalam setiap deklarasi kemerdekaan semua negara di dunia.

Secara umum, prinsip kebebasan bertindak tersebut dibedakan menjadi dua kategori yaitu kebebasan negatif dan kebebasan positif. Kebebasan negatif (negatif liberty) berarti bebas dari sesuatu, dalam hal ini bisa dikatakan bebas dari penjajahan, kolonialisme dan dominasi dari bangsa lain. Hal ini secara resiprokal mengandung konsekuensi bahwa negara tidak boleh menguasai negara lain dan harus memperlakukannya sebagai entitas yang independen seperti halnya dirinya sendiri. Sedangkan kebebasan positif mengacu pada kebebasan untuk bertindak apapun menurut kepentingannya tanpa adanya gangguan dan campur tangan dari pihak manapun.

Dalam perkembangan selanjutnya, prinsip self-determination tidak lepas dari polemik. Ditinjau dari sejarah, prinsip self-determination diciptakan awalnya untuk menjustifikasi unifikasi bangsa-bangsa yang terpecah di Eropa misalnya antara Itali dan Jerman pada pertengahan abad 19. Pada awal abad 20, prinsip ini digunakan dalam negosiasi mengenai perbatasan dan penyelesaian mengenai klaim kolonial pasca Perang Dunia I. Ironinya, prinsip self-determination malah digunakan untuk mendukung penindasan rasial di Afrika demi sebuah self-rule yang berlaku di kalangan mereka sendiri (bangsa Eropa di Afrika). Dari situlah polemik mengenai self-determination muncul. Disatu sisi, prinsip self-determination digunakan untuk menjustifikasi perilaku negar-negara Eropa untuk melakukan kolonialisasi di Afrika demi memenuhi kebutuhannya. Di sisi lain, bangsa Afrika menggunakan prinsip self-determination untuk membebaskan diri dari kolonialisasi bangsa Eropa.

Sedangkan prinsip non-intervention, secara harfiah, diartikan sebagai prinsip tidak ikut campur terhadap sesuatu. Bila mengacu pada prinsip self-determination diatas, maka prinsip non-intervensi dikategorikan kedalam prinsip self-determination yang negatif yaitu bebas dari campur tangan asing.

Secara umum, ada tiga larangan pokok mengenai intervensi dalam hubungan internasional. Larangan-larangan tersebut berdasarkan personifikasi negara seperti layaknya manusia. Larangan intervensi tersebut yaitu:

  • Intervensi dalam ideologi negara. Seperti halnya manusia yang mempunyai hak untuk memiliki dan mengembangkan keyakinan dan pemikirannya, negara juga berhak untuk menentukan ideologinya sendiri. Untuk itu, intervensi terhadap ideologi dianggap sebagai pelanggaran terhadap hal yang paling mendasar terhadap suatu negara. Bahkan menurut Emmanuel Kant, larangan pemaksaan karakter moral kepada orang lain juga termasuk esensi dari otonomi.
  • Intervensi dalam urusan dalam negeri suatu negara. Larangan terhadap intervensi ini berarti penghargaan terhadap kebebasan individu untuk bertindak dan berperilaku seperti keinginannya.
  • Intervensi dalam netralitas. Ketika suatu negara menentukan posisi netral, berarti ia bertindak menurut keyakinannya sendiri dan mewujudkannya dalam tindakan nyata. Intervensi terhadap netralitas berarti pelanggaran terhadap hak individu untuk bersikap tidak memihak terhadap apapun.

Meskipun begitu, intervensi tidak serta merta dilarang begitu saja. Intervensi masih diperbolehkan ketika:

  • Terdapat adanya pelanggaran terhadap hak asasi manusia oleh negara.
  • Intervensi yang dilakukan berada dalam kadar yang proporsional sesuai dengan pelanggaran yang terjadi.
  • Ada permintaan untuk melakukan intervensi oleh pihak-pihak yang bertikai.
  • Intervensi yang dilakukan bertujuan mulia kecuali bila dilakukan untuk mencapai kepentingan strategis.

Tinjauan Kontemporer: Interdependency

Ketika suatu negara dipersonifikasikan sebagai selayaknya manusia, maka ia akan diperlakukan tidak hanya sebagai makhluk individu, tetapi juga sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial (zoon politicon), manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan manusia lain. Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, kerjasama antar individu mutlak diperlukan mengingat selain keterbatasan manusia itu sendiri, kebutuhan manusia juga tidak terbatas sementara sumberdaya alam sangat terbatas jumlahnya. Begitu juga negara, sebagai bagian dari masyarakat dunia, suatu negara dalam rangka menjamin kehidupannya melakukan interaksi dengan negara lain.

Seiring berjalannya waktu, muncul paradigma baru dalam hubungan internasional yaitu perspektif interdependensi (complex interdependence). Interdependensi (keadaan saling tergantung) merupakan akibat dari interaksi yang semakin erat, berhubungan dan saling terkait. Perspektif yang mulai berkembang pada tahun 1970an ini merupakan hasil kritik terhadap perspektif realis yaitu mengenai asumsi kaum realis bahwa hanya negara sebagai aktor penting dalam politik internasional. Asumsi dasar yang diajukan dalam perspektif interdependensi ini yaitu:

  • Bahwa dalam hubungan internasional kontemporer telah muncul berbagai aktor baru seperti organisasi internasional, perusahaan multinasional, kelompok kepentingan dan bahkan aktor individu. Mereka tidak hanya bertindak sesuai peran dan tugasnya saja melainkan juga bertindak lebih jauh dengan mempengaruhi kebijakan nasional suatu negara untuk mendukung kepentingannya. Dalam pandangan kompleks interdependensi, terjalin konsepsi yang sistemik dan holistik yang memandang politik internasional sebagai hasil dari interaksi bagian-bagian tersebut namun tetap tidak mengabaikan negara.
  • Bahwa telah muncul isu baru dalam hubungan internasional seperti masalah ekonomi, kemiskinan, lingkungan hidup, terorisme dsb. disamping isu-isu yang sudah ada sebelumnya seperti masalah perang dan keamanan dunia. Dengan adanya isu-isu baru tersebut, agenda negara terutama dalam hubungan internasional menjadi semakin luas dan beragam. Mengingat masalah tersebut sudah melewati batas negara (transnasional), maka penanganannya membutuhkan upaya global yang melibatkan banyak kalangan di semua negara.
  • Bahwa kekuatan militer sebagai sarana mencapai kepentingan bukanlah satu-satunya instrumen. Dengan berkembangnya demokrasi, penggunaan kekuatan militer menjadi tidak relevan dan tidak penting. Menciptakan hubungan yang intens, saling menguntungkan dengan penggunaan cara-cara yang damai lebih menjadi prioritas (menjadi trend) bagi suatu negara untuk menciptakan pengaruhnya dalam politik internasional.

Perspektif interdependensi ini berkembang sejalan dengan booming ekonomi yang melanda dunia pasca Perang dunia II dan Perang Dingin. Keadaan pasca perang telah menimbulkan kerusakan sarana dan prasarana baik fisik maupun non fisik baik tingkat lokal maupun internasional. Pembangunan ekonomi merupakan upaya pemulihan dari kondisi tersebut. Perdagangan internasional sebagai bagian dari program pembangunan tersebut kemudian menjadi aspek vital. Perdagangan internasional yang berupa barang dan jasa tersebut kemudian menciptakan hubungan saling ketergantungan. Dalam hal ini, aspek ekonomi kemudian menjadi lebih vital daripada aspek politik meskipun sebenarnya keduanya merupakan integral dan saling mempengaruhi. Selanjutnya, ketika hubungan ketergantungan telah tercipta, maka mekanisme pasarlah yang akan bekerja, menciptakan hubungan liberal-kapital tanpa ada campur tangan pihak lain termasuk negara (mekanisme pasar dijalankan oleh invisible hand lewat tarik ulur permintaan dan penawaran).

Selain interdependensi, kecenderungan global nantinya akan mengarah pada kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme, yang seringkali disinonimkan dengan universalitas, berangkat dari asumsi bahwa tiap individu memiliki nilai moral yang sama sehingga nilai-nilai moralitas tersebut tidak hanya berlaku dalam batas-batas teritorial semata. Kosmopolitanisme berusaha memahami individu dengan menghapuskan diskriminasi lewat esensi-esensi penyusunnya yaitu individualisme, equality, dan universality. Kosmopolitanisme tidak lahir tanpa tujuan. Proyek besar kosmopolitanisme tidak hanya berupa entitas moral yang hanya mementingkan perubahan mindset saja, tetapi juga institusional berupa world government ataupun global governance.

Otonomi Negara dalam Interdependensi

Hubungan internasional kontemporer ditandai dengan lahirnya aktor-aktor baru yang ikut andil dalam politik internasional seperti organisasi internasional, perusahaan multi nasional, kelompok-kelompok kepentingan, bahkan aktor individu. Semua itu tidak lepas dari mulai berkembangnya civil society, dimana individu sebagai warga negara mempunyai kebebasan untuk mengemukakan keinginannya secara langsung, sebagai akibat dari demokratisasi.

Dalam perkembangan selanjutnya, organisasi internasional tumbuh dengan pesatnya baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Dari segi bentuknya, organisasi internsional dibagi menjadi dua yaitu organisasi internasional pemerintah (IGO-Inter Governmental Organization) dan organisasi internasional non-pemerintah (NGO-Non Governmental Organization). Munculnya negara baru pasca Perang Dunia II dan keinginan untuk menjaga perdamaian dunia menjadi motivator berkembangnya organisasi internasional. Faktor-faktor lain yang mendukung hal tersebut yaitu:

  • Meningkatnya komitmen negara-negara terhadap perdamaian dunia dengan menerapkan cara-cara damai seperti kerjasama.
  • Kecenderungan negara-negara untuk bekerjasama dalam kerangka diplomasi multilateral.
  • Munculnya isu-isu baru yang membutuhkan penanganan semua pihak secara global.

Selain organisasi internasional, aktor yang tidak kalah signifikan adalah perusahaan multi nasional. Sebagai aktor di bidang ekonomi, perusahaan multi nasional membawa dampak positif bagi pembangunan dan perkembangan ekonomi baik di negara asal maupun di negara tuan rumah. Perdagangan internasional yang tercipta kemudian berkembang pesat hingga akhirnya terjadi booming ekonomi dunia di akhir abad 19.

Yang terjadi kemudian, dengan tumbuhnya aktor-aktor baru tersebut adalah terciptanya suatu hubungan saling ketergantungan antara negara dengan organisasi internasional maupun dengan perusahaan multi nasional. Hubungan saling ketergantungan tersebut menuntut adanya sifat resiprokal atas keuntungan yang didapat. Negara mendapat keuntungan dari keberadaan organisasi internasional dan perusahaan multi nasional. Disisi lain, negara juga harus memberi konsesi terhadap organisasi internasional maupun perusahaan multi nasional tersebut. Ironinya, konsesi tersebut seolah-olah mengorbankan otonomi negara berupa pelanggaran atas prinsip self-determination maupun prinsip non-intervention yang selama ini menunjukkan kedaulatan negara.

Hal tersebut dapat dilihat misalnya dari adanya intervensi organisasi internasional (PBB) dalam penanganan konflik di berbagai negara. PBB menggunakan kekuasaannya untuk mengintervensi konflik di Kosovo dan Rwanda dengan alasan bahwa pemerintah negara tersebut tidak mampu mengatasi konflik. Intervensi bahkan juga dilakukan negara adidaya seperti Amerika Serikat terhadap berbagai masalah seperti nuklir, lingkungan hidup, terorisme dsb. Intervensi yang dilakukan sering disertai dengan konsesi-konsesi. Sebagai contoh, intervensi PBB, AS dan sekutunya terhadap masalah nuklir di Kore Utara. Intervensi tersebut berupa larangan pengembangan nuklir di Korea Utara. Sebagai imbalannya, maka Korea Utara akan mendapat paket bantuan finansial dan pangan. Akibat intervensi dan tekanan tersebut, negara-negara yang diintervensi seakan-akan tidak dapat berbuat apa-apa kecuali mengulur-ulur waktu.

Dalam kasus lain, muncul pula penjajahan dalam bentuk non konvensional. Penjajahan tersebut tidak dalam bentuk penggunaan kekuasaan militer tetapi dalam bentuk penjajahan ideologi, ekonomi dan budaya. Akibatnya, nilai-nilai lokal terancam hilang dan digantikan dengan nilai-nilai ‘global’. Ideologi negara kemudian digantikan dengan ideologi ‘pada umumnya’ seperti demokrasi, liberalis, dan kapitalis. Di bidang ekonomi, penjajahan non-konvensional tersebut secara sistematik membuat negara terperosok dalam kehancuran akibat hutang yang menumpuk sehingga terjerat dengan ketergantungan terhadap negara-negara donor. Dalam kasus IMF dan Indonesia, lembaga internasional tersebut bahkan sangat jauh mengontrol dan mengintervensi kebijakan moneter Indonesia sehingga Indonesia kehilangan kontrol jangka pendek terhadap perekonomiannya.

Bila diperhatikan, konsep interdependensi berangkat dari aspek ekonomi. Singkatnya, interdependensi digunakan untuk memahami dialektika ekonomi antara dua kutub dalam perekonomian dunia yakni antara yang mendominasi (dominance) dan yang terdominasi (dependence). Dalam kondisi tersebut, tentu saja the dominance terus menerus mengalami surplus profit sementara negara yang berada dalam posisi inferior (the dependence) hanya menikmati surplus pinggiran atau residu yang dari segi kuantitas tidak sebanding dengan dampak sosial yang timbul akibat proses eksploitasi.

Dominasi terhadap negara lain dalam bentuk apapun menimbulkan intervensi dalam semua sendi kehidupan. Legitimasi intervensi dibuat oleh mereka yang kuat dan yang menang. Buktinya, intervensi terhadap ideologi diperbolehkan kepada negara-negara yang dalam menerapkan ideologinya melanggar kedaulatan rakyat. Justifikasi tersebut mengabaikan hak negara untuk mengelola dirinya sendiri atas dasar kemampuan sendiri dengan asumsi bahwa hanya negara sendirilah yang mengetahui kebutuhannya masing-masing.

Dalam kondisi saling tergantung (interdependensi), peran negara akan semakin vital untuk meredam ketergantungan tersebut. Dalam perspektif teori ketergantungan, ada berbagai pilihan untuk mengatasi ketergantungan ini. Teori ketergantungan lama / klasik yang dimotori oleh Andre Gunder Frank dkk. menyarankan agar negara-negara yang terdominasi memutus rantai ketergantungan dengan memutus hubungan ekonomi yang tidak adil tersebut. Gunder Frank melihat bahwa selama negara yang terdominasi tergantung pada negara-negara maju, maka negara-negara tersebut akan semakin miskin karena akumulasi keuntungan yang diperoleh lewat industrialisasi pada akhirnya mengalir kembali ke negara-negara maju. Dalam perspektif ini, lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF tak lain adalah agen dari negara-negara maju untuk melindungi kepentingannya, yakni kepentingan perusahaan multi nasional

Teori ketergantungan klasik ini kemudian diperbaharui oleh FH Cardoso yang melihat faktor pokok ketergantungan tidak hanya semata-mata persoalan eksternal seperti yang dikemukakan oleh teori ketergantungan klasik, melainkan juga adanya faktor internal yakni sistem ekonomi politik yang dianut suatu negara dan perilaku politik pemerintahan yang berkuasa di negara tersebut. Faktor internal yang diperbaiki
diharapkan bisa mengurangi ketergantungan suatu negara berkembang terhadap negara maju maupun lembaga keuangan internasional.

Dengan semakin besarnya kecenderungan negara untuk saling tergantung dan menjadi kosmopolitan, maka upaya yang paling bijaksana adalah mempersiapkan diri sendiri dalam menghadapi kondisi tersebut. Sejalan dengan solusi yang ditawarkan Teori Ketergantungan Modern diatas, persiapan dan pembenahan internal yang dilakukan tidak hanya berbentuk fisik saja, tetapi lebih pada kesiapan mental. Untuk itu, agenda utama yang harus dilakukan adalah memperkuat identitas dan peran masyarakat sipil. Pada dasarnya, negara merupakan pengemban kedaulatan rakyat. Ketika supremasi sipil semakin kuat, secara otomatis negara juga akan semakin berdaulat sehingga dalam menghadapi kondisi interdependensi, negara tidak perlu ‘menggadaikan’ sifat otonom.

Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dunia akan semakin saling tergantung. Kejadian di suatu bagian dunia akan mempengaruhi orang di mana saja sehingga kekuatan maupun aktor luar akan sangat berpengaruh terhadap pembuatan kebijakan nasional. Interdependensi tersebut juga akan semakin meluas ruang lingkupnya, bukan hanya melibatkan hubungan antar negara saja, melainkan melibatkan semua pihak sekaligus. Negara kemudian bukan menjadi satu-satunya aktor, melainkan hanya salah satu aktor global disamping aktor lain seperti organisasi internasional, perusahaan multinasional dsb. maupun aktor yang invisible seperti pasar. Dengan semakin signifikannya peran aktor diluar negara tersebut, negara dituntut untuk akomodatif terhadap berbagai kepentingan aktor-aktor tersebut tanpa mengabaikan kedaulatannya.

Dalam perkembangan selanjutnya, kehidupan politik maupun kehidupan ekonomi juga akan saling mempengaruhi sehingga tidak ada gunanya untuk membedakan keduanya. Karena aspek ekonomi dan politik telah campur aduk dalam berbagai aspek kehidupan, maka kehidupan ekonomi akan sangat bergantung dengan politik, begitu pula sebaliknya.

Interdependensi maupun kosmopolitanisme dalam hubungan internasional adalah sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Mempersiapkan diri sendiri dalam menghadapi tantangan tersebut merupakan pilihan paling bijaksana daripada ‘mengorbankan’ kedaulatan demi mencapai kepentingan. Ketika posisi negara telah berdaulat, maka term self-determination dan non-intervention tidak perlu diredefinisi.

Isu-isu Global Masa Kini: Globalisasi di Negara-negara Dunia Ketiga



Tidak diragukan lagi bahwa fenomena internasional kontemporer ditandai dengan semakin terintegrasinya segala aspek kehidupan manusia baik secara politik, ekonomi, sosial dan bahkan budaya dalam kerangka globalisasi. Integrasi yang mengarah pada kondisi state borderless tersebut sedikit banyak telah mengurangi otoritas negara sehingga negara bukan lagi aktor dominan dalam global village. Globalisasi memunculkan bentuk hubungan interdependence dan interconnection antar negara dan aktor-aktor lain non-negara. Akibatnya, isu-isu global kontemporer tidak lagi berputar pada permasalahan perang dan keamanan internasional semata, melainkan juga isu-isu non-konvensional lain seperti terorisme, global warming, transational crime, global poverty dan sebagainya yang tentunya menuntut peran serta semua aktor untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut.

Dalam globalisasi, isu ekonomi dan perdagangan internasional merupakan isu yang berjalan paling intens, dinamis dan paling menyita perhatian. Fenomena globalisasi membawa perubahan yang sangat signifikan terhadap kegiatan ekonomi internasional baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Globalisasi ekonomi dan perdagangan ditopang oleh banyak faktor antara lain kemajuan teknologi informasi, transportasi, komunikasi dan ketersediaan infrastruktur yang memadai yang memungkinkan dilakukannya perdagangan lintas batas negara dalam waktu yang relatif singkat. Dampaknya, ekonomi antar negara menjadi semakin bergantung satu sama lain dalam lingkup global. Ini berarti bahwa kebijakan ekonomi suatu negara akan sangat berpengaruh terhadap kehiduan ekonomi negara lain. Oleh karenanya, suatu negara tidak lagi dapat mengambil kebijakan nasional tanpa mempertimbangkan lingkungan ekonomi global.

Ironinya, globalisasi juga membawa pengaruh buruk dalam dunia internasional. Masalah domestik di suatu negara bisa menjadi masalah global. Kebakaran hutan di Indonesia tidak hanya merugikan Indonesia semata tetapi juga regional Asia Tenggara. Di sisi lain, globalisasi telah menciptakan strata dan ketimpangan sosial ekonomi di dunia. Di negara dunia ketiga, globalisasi hanya menimbulkan bentuk eksploitasi baru dalam kerangka imperialisme negara-negara maju. Selanjutnya, hanya segelintir orang saja yang dapat menikmati globalisasi sementara mayoritas warga dunia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Tulisan ini sedikit banyak akan mengarah pada usaha menjawab kegusaran diatas dengan mengidentifikasi reaksi dan langkah apa saja yang dapat ditempuh untuk menjadikan globalisasi sebagai solusi yang menguntungkan semua pihak.


Globalisasi dan Negara Dunia Ketiga: Theoretical Framework

Ada dua kata kunci utama dalam tulisan ini yaitu globalisasi dan ‘Negara Dunia Ketiga’. Globalisasi merupakan proses percepatan lebih mendalam dan lebih meluas dalam semua aspek kehidupan di seluruh dunia meliputi interaksi, aktifitas dan penggunaan kekuasaan. Sebagai sebuah proses, fenomena globalisasi tidak dapat dihindarkan dan irreversible (tidak dapat diputar ulang) sehingga dapat digambarkan sebagai proses linier dalam kehidupan. Sebagai proses ilmiah, maka tidak ada aktor yang menggerakkan globalisasi (no body in charge, no body responsible). Karenanya, globalisasi bersifat self-regulating. Adapun karakter globalisasi antara lain:

  • Berkaitan dengan kemajuan teknologi, informasi, dan komunikasi transnasional.
  • Berkaitan dengan akumulasi kapital, investasi, keuangan dan perdagangan global.
  • Berkaitan dengan intensitas perpindahan manusia, pertukaran budaya, nilai-nilai dan ide transnasional.
  • Berkaitan dengan interdependensi antar bangsa dan masyarakat.

Dengan semakin berkembangnya globalisasi, muncul tiga perspektif dalam memandang globalisasi yaitu:

1. Hyperglobalist yang menganggap bahwa negara bangsa menghadapi peluang dan ancaman akibat intensitas proses ekonomi dan politik yang transnasional. Aktifitas tersebut mengancam prinsip territorial yang menjadi landasan bagi organisasi sosial politik modern (negara). Varian neoliberal menganggap bahwa globalisasi merupakan prakondisi bagi kesejahteraan global. Sedangkan varian radikal menganggap bahwa globalisasi hanya akan memperlebar jurang kesenjangan dan kemiskinan global.

2. Skeptis yang menganggap bahwa globalisasi merupakan konstruksi ideologi / sosial sehingga bukan barang baru. Globalisasi hanya berupa intensitas ekonomi politik yang kian mendalam dan diiringi juga dengan peningkatan peran negara. Varian Marxist menganggap bahwa globalisasi merupakan bentuk imperialisme baru dengan perusahaan multinasional sebagai instrumennya. Sedangkan varian realist menganggap bahwa globalisasi sebagai tatanan dunia internasional baru yang merepresentasikan kepentingan negara-negara kuat.

3. Transformasionalis yang menganggap bahwa globalisasi merupakan kondisi politik, ekonomi, sosial dan budaya yang baru karena mentransformasikan kekuasaan negara. Ada aspek peluang dan tantangan didalamnya sehingga menuntut pengelolaan yang bijak.

Sementara itu, term ‘negara dunia ketiga’ sendiri sebenarnya masih dalam perdebatan. Implikasi dari digunakannya term ini adalah memunculkan adanya term negara dunia pertama, kedua, keempat dan seterusnya yang akan semakin membingungkan. Namun para ilmuwan politik sepakat bahwa term ‘negara dunia ketiga’ merujuk pada kondisi negara sedang berkembang. Karena sedang berkembang, maka negara-negara dunia ketiga selalu melakukan trial and error untuk menemukan konsep politik dan ekonomi yang tepat baginya.


Berlangsungnya Globalisasi di Negara Dunia Ketiga

Fenomena globalisasi di negara dunia ketiga tidak beda dengan kondisi kolonialisasi negara-negara Eropa pada abad 16 hingga abad 19. Bedanya, bila dulu kolonialisasi dibawa oleh institusi negara, maka kolonialisasi saat ini dibawa melalui instrumen perusahaan multinasional dengan justifikasi globalisasi. Akibatnya, muncul pandangan bahwa globalisasi sebenarnya dibawa dan dipaksakan oleh negara-negara maju padahal sebenarnya negara-negara dunia ketiga masih prematur dan belum siap menghadapi kondisi globalisasi. Tidak heran bila muncul argumen bahwa globalisasi bukanlah suatu proses melainkan suatu proyek kapitalisme.

Sebagai suatu proyek, maka globalisasi bukanlah suatu keniscayaan, melainkan suatu hasil keputusan politik. Perspektif transnasional menganggap bahwa globalisasi adalah produk dari aktor dan gerakan social transnasional seperti G7, IMF, The World Bank, dan perusahaan-perusahaan multinasional. Secara ekstrim, kaum radikal menganggap bahwa globalisasi adalah produk dari negara adidaya dunia yaitu Amerika Serikat. Indikasinya, Amerika Serikatlah yang paling antusias mendorong bergulirnya globalisasi dan Amerika Serikatlah yang paling banyak menikmati buah globalisasi.

Globalisasi di negara-negara dunia ketiga telah menciptakan hubungan interdependensi yang sangat kuat. Akibat dari interdependensi tersebut antara lain: pertama, persoalan di bidang perdagangan. Akibat globalisasi, semua negara sepakat dengan ekonomi yang dikendalikan oleh pasar. Faktanya, fair trade yang menjadi prinsip pasar bebas dihalangi oleh berbagai hambatan dan kerumitan. Akibatnya, hanya negara-negara maju yang dapat menikmati keuntungan ekonomi dan perdagangan dewasa ini. Selebihnya, mereka terutama negara-negara dunia ketiga hanya sebagai partisipan penggembira.

Kedua, persoalan di bidang moneter. Hampir sama dengan perdagangan, stabilitas moneter internasional sebagai prinsip yang disetujui internasional kemudian terhambat oleh ego dan kepentingan negara-negara maju yang tentunya mengorbankan kepentingan negara-negara dunia ketiga.

Ketiga, persoalan di bidang produksi global. Masalah jaringan produksi global lintas batas negara dalam suatu perusahaan multinasional merupakan salah satu problem produksi global. Implikasi dari masalah ini adalah menurunnya peran negara dalam melakukan kontrol. Di sisi lain, dalam usaha menambah devisa negara, negara-negara dunia ketiga saling berlomba-lomba menarik investor asing dengan saling memberikan kemudahan investasi. Fenomena ini kemudian dikenal dengan ‘race to the bottom’ yaitu berlomba-lomba menuju kehancuran. Pihak yang paling diuntungkan tentunya para pemilik modal.


Reaksi terhadap Globalisasi

Berbagai reaksi terhadap globalisasi muncul sejalan dengan semakin kencangnya arus globalisasi. Secara kasat mata dapat kita lihat bahwa hampir semua pertemuan lembaga-lembaga globalisasi seperti pertemuan WTO dan G7 selalu diwarnai dengan aksi demo kelompok anti-globalisasi. Di tengah euphoria globalisasi, ada sejumlah bagian orang yang tersingkir. Secara umum, ada tiga reaksi terhadap globalisasi yaitu: pertama, celebration yaitu mereka yang merayakan globalisasi antara lain kaum ekonom neoliberal yang menganggap bahwa pasar bebas yang diciptakan globalisasi merupakan pembawa kesejahteraan, kebebasan, demokrasi dan kedamaian sehingga globalisasi dianggap sebagai win-win scenario bagi semua. Orang-orang ini adalah pemilik modal perusahaan multinasional, media massa dan kelompok World Economic Forum (meliputi IMF, WTO, the World Bank). Dengan kata lain, kelompok ini adalah kaum hiperglobalis.

Kedua, rejection yaitu mereka menolak neoliberal dalam bentuk apapun karena ia akan menciptakan imperialisme baru dan globalisasi hanyalah kepanjangan tangan dari negara-negara kuat. Responnnya berupa:

  • Deglobalisasi yaitu penolakan terhadap globalisasi dalam bentuk apapun.
  • Nasionalisme ekonomi yaitu meningkatkan peran negara dalam berbagai aspek kehidupan.
  • Isolasionis yaitu mengucilkan diri dari pergaulan dunia agar tidak terimbas arus globalisasi
  • Self-sufficient yaitu pemenuhan kebutuhan sendiri dengan tidak menggantungkan pemenuhan kebutuhan pada perdagangan internasional.
  • Local communities / regionsalisme yaitu pembentukan kelompok-kelompok senasib seperjuangan dalam tingkat kawasan dalam rangka pemenuhan kepentingan bersama

Ketiga, critique yaitu mereka yang menganggap bahwa kapitalisme dalam globalisasi adalah sebagai kekuatan yang baik karena menciptakan kompetisi dan mendorong inovasi sehingga yang dibutuhkan adalah pengelolaan yang hati-hati oleh semua aktor yang terkait didalamnya. Kelompok ini sebenarnya sempat menikmati globalisasi namun mereka sadar bahwa tantangan yang menyelimuti globalisasi dapat mengancam eksistensi mereka. Dengan kata lain, kaum ini diwakili dengan orang-orang transformasionalis.

Secara umum, reaksi yang terjadi di negara-negara dunia ketiga adalah critique dan rejection. Hal tersebut wajar karena eksploitasi melalui berbagai kegiatan ekonomi yang telah dilakukan negara-negara maju di wilayahnya tidak sebanding dengan kerugian dan keuntungan yang diperoleh negara-negara dunia ketiga tersebut.

Kesimpulan dan Prospek Globalisasi

Pagi ini, George yang seorang pialang saham Wall Street bangun tidur dari kamar presidential suit Hotel Hilton di Hongkong. Setelah makan pagi di Taiwan, ia akan bertemu dengan kliennya di pusat perbelanjaan Sogo di Jepang dilanjutkan dengan makan siang di eksotisme tower Petronas Malaysia. Malamnya, ia akan menghadiri gala dinner peluncuran mode Dolce Gabanna di Milan Italia dan akan bermalam di ShangriLa Hotel di London hingga esok hari. Joke globalisasi tersebut memperlihatkan betapa dunia semakin kecil karena orang dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan waktu yang relatif singkat. Kemajuan teknologi informasi, transportasi, komunikasi dan ketersediaan infrastruktur yang memadai memungkinkan dilakukannya interaksi lintas batas negara dalam waktu yang relatif singkat.

Satu hal yang dilupakan, bahwa globalisasi sebenarnya hanyalah milik segelintir orang yakni orang-orang kaya saja. Dunia memang terasa kecil bagi mereka yang memiliki banyak uang. Sementara mayoritas penduduk dunia masih hidup dibawah standar kesejahteraan terutama di negara-negara dunia ketiga. Bagi mereka, globalisasi hanyalah mimpi. Hal tersebut terjadi karena prinsip-prinsip fair trade tidak berjalan sebagaimana mestinya karena kepentingan domestik yang lebih besar dibandingkan usaha memakmurkan bersama. Bila ketidakadilan tersebut tetap dibiarkan, maka kerugian yang lebih besar akan dialami oleh semua pihak.

Langkah terbaik dalam mengelola globalisasi adalah dengan saling mempertemukan kepentingan negara-negara maju dan negara-negara dunia ketiga kemudian menegosiasikan dan melaksanakannya dengan iktikad baik dalam kerangka kerjasama dan hubungan persahabatan damai.

Kamis, 11 September 2008

Revitalisasi Kelautan Indonesia: MENGURAI BENANG KUSUT UNTUK MEMINTAL ZAMRUD KHATULISTIWA



Unik dan kompleks. Itulah kata-kata yang dapat menggambarkan kondisi kepulauan Republik Indonesia. Dilihat dari segi geografisnya, luas wilayah Indonesia mencapai kurang lebih delapan juta km2 dengan komposisi luas daratan 1,9 juta km2 dan luas perairan 5,8 km2. Dengan kata lain, cakupan wilayah Indonesia kurang lebih seluas wilayah dari pantai barat AS ke pantai timur AS (barat-timur) dan dari Inggris sampai Turki (utara-selatan).
Dikatakan unik karena letak geografis tersebut berada di posisi silang dua benua dua samudra, dan dua budaya, berupa rajutan lebih dari 17.000 pulau besar dan kecil disertai dengan keberagaman flora, fauna, sumber daya alam bahkan masyarakatnya. Bila dipandang dari ketinggian, gugusan pulau tersebut seakan membentuk mozaik hijau di atas hamparan kain biru yang luas. Jika dikombinasikan dengan garis khayal khatulistiwa, maka archipelago Indonesia dengan berbagai bentuk pulaunya tersebut ibarat batu zamrud yang diuntai sehelai benang yang terletak di tangah dunia membentuk sabuk bumi yang unik dan artistik sepanjang 3200 mil. Tidak salah bila Suardi Suryaningrat pada tahun 1920an menyebut kata Nusantara bagi gugusan kepulauan Indonesia.
Dikatakan kompleks karena pluralitas dan keberagamannya tidak hanya memberikan kekayaan, tetapi juga tantangan. Kekayaan Indonesia terutama lautnya kerapkali diibaratkan dengan kondisi surgawi. Tempat dimana sungai mengalir berkelok-kelok menembus tanah-tanah subur dan hutan hijau mengalir menuju laut biru. Indonesia dianggap sebagai tempat dimana manusia dengan mudah mendapatkan apapun untuk memenuhi segala kebutuhannya, baik kebutuhan jasmaniah maupun rohaniah mengingat sumber daya alamnya yang melimpah. Tidak ada negara manapun seperti Indonesia di dunia ini.

Mengurai Benang Kusut
Kondisi geografis, kekayaan alam dan jumlah penduduk yang melimpah seharusnya menjadikan Indonesia sebagai salah satu kekuatan yang harus disegani. Kenyataannya, Indonesia tidak lebih dari seekor singa yang setengah terlelap yang dicuekin. Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan dan munculnya sengketa Ambalat menunjukkan lemahnya kontrol terhadap wilayah perbatasan di Indonesia. Kapal dan pesawat asing dengan seenaknya keluar masuk teritori Indonesia. Ada ungkapan bahwa negara yang tidak memiliki laut (land-locked country) ibarat rumah tanpa pintu sehingga tamu kesulitan masuk. Namun bagi Indonesia yang memiliki dan dikelilingi laut, menjadi ironi ketika diibaratkan sebagai rumah tanpa pintu juga kerena pemiliknya lupa membuat pintu sehingga tamu bebas keluar masuk seenaknya.
Selain itu, masalah lain adalah munculnya kejahatan unconventional yang sifatnya kini telah melintasi wilayah antar negara (transnational) seperti human trafficking, illegal fishing, pembajakan, bahkan terorisme. Tantangan diatas memang merupakan dampak laten dari luasnya wilayah laut Indonesia. Ironinya, di sisi lain, luasnya laut Indonesia tidak memberi kontribusi yang signifikan pada pembangunan nasional. Ungkapan bahwa laut di Indonesia bukanlah sebagai pemisah pulau-pulau, tetapi perekat antar pulau kemudian menjadi retorika belaka dengan adanya kesenjangan pembangunan diantara pulau-pulau tersebut.
Melihat kenyataan diatas, dibutuhkan penyelesaian masalah yang tepat, komprehensif dan segera dalam rangka revitalisasi sektor kelautan. Ungkapan bijak mengatakan bahwa 50% dari penyelesaian masalah adalah dengan mengidentifikasi masalah, mencari kekeliruan kemudian memperbaikinya. Masalah yang harus diidentifikasi pertama kali harus yang mengenai visi dan argument utama yang melegitimasi tindakan-tindakan selanjutnya. Setidaknya, ada dua kekeliruan argumen yang dibuat di masa lalu: pertama, argumen bahwa Indonesia adalah negara agraris (dibanggakan dengan kemampuan swasembada pangan/beras dan berasisasi makanan pokok) padahal kenyataannya kita adalah negara bahari (maritim). Akibatnya, orientasi pembangunan Indonesia selama bertahun-tahun adalah land-oriented dan seakan-akan menanaktirikan sektor kelautan. Untuk mengakomodasi sektor kelautan, pengertian pertanian kemudian diperluas dengan juga mencangkup kelautan. Seharusnya, sektor kelautan bukanlah sub-pertanian melainkan keduanya berdiri sendiri sejajar mengingat kondisi geografis Indonesia dan kompleksitas sektor kelautan itu sendiri. Kedua, anggapan bahwa wilayah perbatasan adalah daerah terluar dari kesatuan wilayah yang kemudian berakibat pada terabaikannya pembangunan wilayah perbatasan terutama di daerah pesisir. Padahal, wilayah perbatasan adalah garda depan, pintu masuk, sekaligus ‘wajah’ bagi sebuah negara yang harus tegas dan memberi kesan baik kepada siapapun yang memasuki wilayah negara tersebut.

Memintal Kembali Zamrud Khatulistiwa
Setelah sedikit mengurai benang kusut masalah kelautan Indonesia dengan merevisi visi pembangunan Indonesia, saatnya kini memintal kembali kesatuan Zamrud khatulistiwa. Diawali dengan adanya komitmen bahwa pembangunan sektor kelautan merupakan hal yang vital mengingat Indonesia adalah negara bahari melalui optimalisasi dan maksimalisasi segala sumber daya yang sudah ada.. Untuk itu, pembenahan yang pertama dilakukan adalah dengan pemberdayaan wilayah perbatasan terutama daerah pesisir melalui mekanisme otonomi daerah (terdesentralisasi). Yang tidak boleh dilupakan, pemberdayaan melalui desentralisasi bukan dipandang sebagai wilayah kavling-kavling kerja bagi penguasa daerah, melainkan suatu usaha peningkatan partisipasi masyarakat daerah sebagai pemilik daerahnya dalam kerangka pembangunan nasional. Pemberdayaan bagi masyarakat pesisir dan daerah perbatasan tersebut secara spesifik berupa: penentuan batas territorial secara tegas menurut hukum internasional, peningkatan kesejahteraan melalui eksplorasi, eksploitasi, dan konservasi sumberdaya alam setempat, peningkatan kualitas dan akses terhadap pendidikan dan informasi, peningkatan sarana dan prasarana transportasi dan transmigrasi. Pemberdayaan tersebut dilakukan bersama-sama oleh semua pihak terkait baik pusat maupun daerah berdasarkan aspirasi dan prakarsa masyarakat daerah.
Selanjutnya, ya segera bergerak melakukan kebijakan-kebijakan strategis tersebut. Seperti kata AA Gym, mulai dari hal-hal yang kecil dan mulai sekarang, agar kebijakan tersebut tidak mubadzir dan hanya menjadi retorika belaka. Seperti yang telah disebutkan di atas, upaya revitalisasi terhadap apapun memang memerlukan koordinasi dan peran serta semua pihak. Dengan semakin kuatnya civil society, generasi muda pun juga dapat ikut serta mengawal revitalisasi kelautan Indonesia sesuai peran dan bidangnya masing-masing karena memintal kembali zamrud khatulistiwa bukan hanya tugas pemerintah.
Pelaut negara kaya seberang berkata: “Dulu, jumlah ikan tangkapan kita sangat terbatas karena terbatasnya kapal penangkap. Kini, jumlah ikan tangkapan kita juga terbatas karena jumlah ikannya yang semakin sedikit. Tapi ada tempat dimana ikannya tidak habis-habis, Indonesia”. Daripada ikan kita dimakan orang asing disana, alangkah baiknya kalau kita makan sendiri, bukan begitu?

AS NEGARA DEMOKRATIS?


Mengapa Amerika Serikat yang partisipasi politik rakyatnya dalam pemilu hanya 60% saja disebut sebagai Negara demokratis? Ada beberapa alasan mengapa Amerika Serikat disebut sebagai Negara demokratis meskipun partisipasi politik rakyatnya dalam pemilihan umum hanya 60% saja. Pertama, budaya politik yang berkembang dalam masyarakat Amerika Serikat adalah budaya politik partisipatif dimana rakyat Amerika Serikat terlibat dalam kegiatan politik secara lansung melalui pemilihan umum, partai-partai politik dll. Hal tersebut dikarenakan tingkat ekonomi Amerika Serikat yang mapan sehingga jumlah masyarakat menengah atasnya cukup banyak. Meskipun begitu, didalam masyarakat Amerika Serikat juga berkembang budaya politik subyektif dan parochial walaupun presentasinya sedikit.

Kedua, partisipasi politik masyarakat Amerika Serikat adalah atas kemauan sendiri (autonomous) tidak didasarkan pada tindakan-tindakan yang berdasarkan paksaan (represif) oleh pemerintah.

Ketiga, masyarakat terlibat dalam pembuatan kebijakan (formulas) dengan ditandai oleh adanya masukan dari masyarakat lewat lembaga perwakilan maupun lewat partai-partai politik. Dengan adanya keterlibatan tersebut, maka masyarakat diikutsertakan tidak hanya pada tahap implementasi kebijakan saja, tetapi juga dalam tahap pembuatan kebijakan.

Keempat, aspirasi politik berasal dari masyarakat kemudian disalurkan kepada pemerintah melalui partai-partai politik maupun kelompok-kelompok kepentingan (bottom up). Dengan begitu, masyarakat bertindak sebagai subyek, bukan sebagai obyek kebijakan pemerintah (top down).

Kelima, penyaluran aspirasi politik masyarakat Amerika Serikat adalah secara conventional yang legal yaitu melalui pemilihan umum, demonstrasi, partai-partai politik, dll. Masyarakat Amerika Serikat sedikit banyak sadar untuk tidak menyalurkan aspirasi politiknya melalui cara-cara inconventional dan illegal seperti tindakan terorisme dan perang saudara.

Urgensi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional





Pada tahun ajaran 2008 ini, Universitas Brawijaya Malang untuk pertama kalinya membuka jurusan Ilmu Hubungan Internasional (HI). Pada tahun sebelumnya, Universitas Muhammadiyah Malang telah terlebih dahulu membuka program yang sama. Di seluruh Indonesia, telah terdapat kurang lebih 30 institusi perndidikan baik perguruan tinggi negeri maupun swasta yang membuka jurusan HI. Berdasarkan kenyataan tersebut, nampaknya masyarakat masih antusias dengan keberadaan program studi ini.
Di sisi lain, sebuah harian nasional (23/8) melansir berita mengenai dilema penganggur terdidik. Tajuk rencana harian tersebut menyebutkan bahwa sebanyak 4,5 juta atau separuh lebih dari penganggur terbuka di Indonesia adalah penganggur terdidik. Porsi tersebut meningkat drastis dari 17 persen (2004) menjadi 50.3 persen (2008). Artinya, memang ada yang perlu dibenahi dari sistem pendidikan nasional karena sistem yang ada selama ini banyak dinilai tidak match dengan kebutuhan industri atau sektor-sektor ekonomi lainnya. Sistem pendidikan nasional cenderung mengedepankan prestasi akademis daripada penyerapan pasar kerja. Selanjutnya, timbul keresahan terhadap tingginya penganggur terdidik ini karena sebagai orang yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, para penganggur terdidik tersebut akan berpotensi menyalahgunakan intelektualitasnya yang bisa memicu kerawanan dan persoalan sosial.
Tentunya, jurusan Ilmu Hubungan Internasional ini juga dibentuk untuk memberikan kompetensi bagi mahasiswanya agar tidak menjadi kontributor terhadap tingginya angka penganggur terdidik di Indonesia. Tidak dipungkiri bahwa mayoritas mahasiswa HI umumnya tertarik dengan program studi HI karena ingin menjadi diplomat. Lebih lanjut, uniknya, sebagian mereka ingin merasakan pergi atau bekerja di luar negeri. Sangat wajar bila keinginan tersebut muncul karena gambaran seorang diplomat yang necis, smart, dan selalu keliling ke luar negeri selalu memberi motivasi tersendiri bagi para mahasiswa HI. Di sisi lain, mahasiswa HI perlu mencermati bahwa persaingan untuk menjadi diplomat Indonesia sangatlah ketat. Pada tahun 2008 ini, dari 11.856 berkas yang masuk untuk mendaftar sebagai Pejabat Diplomatik dan Konsuler, hanya 8.187 berkas yang lolos seleksi administrasi yang selanjutnya berhak mengikuti ujian substansi (diadakan pada bulan September) di Jakarta. Dari ribuan pelamar tersebut, tidak lebih dari seperempatnya yang akan dinyatakan lolos untuk mengikuti seleksi penguasaan bahasa asing (diadakan pada bulan Oktober). Seleksi berlapis ini dilakukan agar Deplu benar-benar mendapat seorang pejabat diplomatik yang kompeten.
Lantas, kemanakah para lulusan HI yang tidak lolos (atau tidak berminat) menjadi seorang diplomat? Mereka umumnya akan ikut bertarung bersama lulusan program studi lain pada berbagai macam profesi seperti jurnalis, dosen, instansi pemerintah lain, LSM, pegawai bank, perusahaan nasional ataupun multinasional, dan bahkan akan menjadi salah satu bagian dari penganggur terdidik (meskipun untuk sementara waktu). Solusi utama agar jurusan HI maupun para mahasiswanya tidak terjebak dalam kemelut ini adalah dengan selalu mencermati kondisi internasional, melakukan terobosan dalam pengajaran studi HI dan selalu memberikan sekaligus mengembangkan lifeskill para mahasiswanya.

Kondisi Internasional Kontemporer
Tidak diragukan lagi bahwa fenomena internasional kontemporer ditandai dengan semakin terintegrasinya segala aspek kehidupan manusia baik secara politik, ekonomi, sosial dan bahkan budaya dalam kerangka globalisasi. Integrasi yang mengarah pada kondisi state borderless tersebut sedikit banyak telah mengurangi otoritas negara sehingga negara bukan lagi aktor dominan dalam global village. Globalisasi memunculkan bentuk hubungan interdependence dan interconnection antar negara dan aktor-aktor lain non-negara. Akibatnya, isu-isu global kontemporer tidak lagi berputar pada permasalahan perang dan keamanan internasional semata (yang selalu mendominasi keilmuan HI pada abad 19), melainkan juga isu-isu non-konvensional lain seperti terorisme, global warming, transational crime, global poverty dan sebagainya yang tentunya menuntut peran serta semua aktor untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut.
Dalam globalisasi, isu ekonomi dan perdagangan internasional merupakan isu yang berjalan paling intens, dinamis dan paling menyita perhatian. Fenomena globalisasi membawa perubahan yang sangat signifikan terhadap kegiatan ekonomi internasional baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Globalisasi ekonomi dan perdagangan yang ditopang oleh banyak faktor antara lain kemajuan teknologi informasi, transportasi, komunikasi dan ketersediaan infrastruktur yang memadai memungkinkan dilakukannya perdagangan lintas batas negara dalam waktu yang relatif singkat. Dampaknya, ekonomi antar negara menjadi semakin bergantung satu sama lain dalam lingkup global. Ini berarti bahwa kebijakan ekonomi suatu negara akan sangat berpengaruh terhadap kehiduan ekonomi negara lain. Oleh karenanya, suatu negara tidak lagi dapat mengambil kebijakan nasional tanpa mempertimbangkan lingkungan ekonomi global.
Ironinya, globalisasi juga membawa pengaruh buruk dalam dunia internasional. Masalah domestik di suatu negara bisa menjadi masalah global. Kebakaran hutan di Indonesia tidak hanya merugikan Indonesia semata tetapi hingga regional Asia Tenggara. Di sisi lain, globalisasi telah menciptakan strata dan ketimpangan sosial ekonomi di dunia. Di negara dunia ketiga, globalisasi justru menimbulkan bentuk eksploitasi baru dalam kerangka imperialisme negara-negara maju. Akibatnya, hanya segelintir golongan saja yang dapat menikmati kue globalisasi sementara mayoritas warga dunia masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Terobosan Pembelajaran Studi HI
Jika mencermati fenomena internasional kontemporer, maka pembelajaran studi HI akan selalu mengalami tantangan karena akan selalu berkejar-kejaran dengan kondisi internasional. Selanjutnya, hanya lulusan HI yang mampu menganalisa dan memprediksi kondisi internasionallah yang nantinya akan memperoleh keuntungan dan mampu survive dalam era globalisasi ini. Maka, tugas perguruan tinggi kemudian harus mampu menyediakan kurikulum yang tidak hanya berbasis kompetensi, tetapi juga mampu berjalan seiring dengan kondisi global melalui metode pembelajaran aktif, terbuka, dan komprehensif.
Metode pembelajaran aktif yang juga dikenal dengan sebutan active learning dalam skema student centered learning kini telah banyak dipergunakan pada pembelajaran di level pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Pada beberapa waktu yang lalu, rubrik pendidikan harian Jawa Pos juga telah memfasilitasi para guru untuk memberikan ide-ide mereka mengenai active learning untuk dibagi kepada guru-guru yang lain agar dapat diterapkan disekolahnya masing-masing. Berbeda dengan penerapan di level pendidikan dasar maupun menengah, penerapan active learning pada level pendidikan tinggi tidak membawa beban yang berat bagi seorang dosen mengingat para mahasiswa yang jauh lebih dewasa.
Metode ini akan menempatkan mahasiswa sebagai pusat kegiatan, dimana dosen berperan sebagai motivator dan fasilitator pembelajaran. Dengan demikian, dosen berperan memberikan pengantar mengenai keilmuan HI dan memancing rasa keingintahuan mahasiswa terhadap studi HI tersebut. Selain itu, dosen juga berperan mendorong mahasiswa untuk mengaplikasikan ilmu yang didapat dalam kehidupan praktis sehari-hari mengingat pada dasarnya, ilmu HI adalah seni berinteraksi antar sesama manusia. Adapun beberapa metode pembelajaran HI kontemporer antara lain melalui serangkaian diskusi, brainstorming, simulasi, role-play, permainan interaktif dan sedikit ceramah kelas. Selanjutnya, dosen akan memancing mahasiswa dengan serangkaian pertanyaan-pertanyaan seputar topik yang disampaikan tersebut. Dengan demikian, terjalin komunikasi dua arah yang terbuka antara dosen dan mahasiswanya. Melalui kegiatan tersebut, baik dosen maupun mahasiswa akan saling memberi masukan keilmuan yang tentunya akan memicu perdebatan argumen.
Selain itu, mengingat isu-isu HI yang semakin beragam, maka penyusunan kurikulum diarahkan untuk selalu mengakomodasi kondisi internasional kontemporer namun tidak diajarkan secara terpisah-pisah. Bila program studi HI diajarkan dalam tujuh semester, maka akan terbuka kemungkinan adanya mata kuliah yang saling tumpang tidih (misalnya karena diajarkan oleh beberapa dosen) ataupun mata kuliah yang tidak sesuai dengan visi program studi HI tersebut. Maka ada baiknya bila, mata kuliah yang akan diajarkan saling dikaitkan dan diperdalam pada mata kuliah yang lain sehingga pemahaman mahasiswa terhadap suatu topik tersebut akan lebih komprehensif.

Lifeskill Mahasiswa HI
Menyikapi maraknya penganggur terdidik dalam era globalisasi saat ini, maka para mahasiswa hendaknya sadar untuk selalu memperdalam lifeskillnya, yaitu keahlian-keahlian yang dibutuhkan agar mampu bersaing dalam pasar kerja nantinya. Secara umum, lifeskill yang diperlukan mahasiswa diklasifikasikan dalam dua hal yaitu hardskill dan softskill. Untuk mahasiswa HI, hardskill yang perlu dikembangkan adalah kemampuan bahasa asing dan penguasaan ICT (information and communication technology). Selain tentunya bahasa Inggris, mahasiswa HI hendaknya mampu menguasai salah satu atau lebih bahasa PBB (Perancis, Spanyol, Arab, Cina), bahasa perdagangan ekonomi internasional lainnya (Jepang, Korea, dst) ataupun bahasa lain yang digunakan di Negara yang memiliki hubungan diplomasi dengan Indonesia (Thailand, tagalong, dst). Sedangkan penguasaan ICT lebih ditekankan karena mahasiswa HI dituntut untuk mampu mengembangkan jaringan dan mampu menjadi agen solusi dan/atau agen perubahan atas berbagai masalah dunia. ICT merupakan media yang tepat untuk menyalurkan aspirasi tersebut.
Adapun softskill yang harus ada dalam mahasiswa HI adalah mengenai perlunya nilai-nilai kepemimpinan, dinamis, terbuka, kritis & kreatif, humanis dan cinta damai. Pada dasarnya, keilmuan HI adalah seni berkomunikasi (diplomasi) dan berkawan dalam pergaulan antar negara. Maka bila dibrake-down dalam level individu, keilmuan HI adalah seni berinteraksi antar sesama manusia. Obyek studi mahasiswa HI berbeda dengan obyek keilmuan sains (yang umumnya berupa benda mati), tetapi adalah manusia dan lingkungan yang sangat dinamis dari waktu ke waktu. Akan sia-sia bila seorang mahasiswa HI bersikap introvert (tertutup) dan tidak pandai bergaul. Kemampuan berpikir kritis sangat dibutuhkan untuk menganalisis suatu masalah sehingga mampu menyusun rekomendasi kebijakan dan prediksi akan masa depan. Sedangkan berpikir kreatif diperlukan dalam rangka menciptakan ide-ide baru dalam mengatasi permasalahan global, termasuk misalnya menumbuhkan sikap entrepreneur untuk mengatasi kemiskinan. Nilai-nilai cinta damai menjadi penting dimiliki oleh para mahasiswa HI agar nantinya mahasiswa akan terbiasa selalu mengedepankan dialog (diplomasi) daripada penggunaan kekuatan militer dalam rangka menyelesaikan masalah. Para pendiri bangsa telah mengamanatkan rasa cinta damai pada semua generasi seperti yang termaktub dalam pembukaan UUD RI 1945.
Terkadang, justru lifeskill inilah yang tidak diajarkan dalam bangku kuliah resmi karena beragam alasan. Dengan demikian, hanya sikap proaktif dari mahasiswalah yang menjadi kunci utama dalam pengembangan lifeskill dirinya sendiri.

Urgensi Jurusan HI
Awalnya, jurusan HI dibentuk untuk memberikan input bagi Deplu dalam rangka mencetak diplomat-diplomat handal demi mewujudkan kepentingan nasional. Fungsi program studi HI di perguruan tinggi adalah untuk memberikan landasan dan pemahaman keilmuan HI. Jurusan HI yang baru dibentuk di daerah-daerah (Kota Malang) akan selalu dihadapkan pada persaingan antar perguruan tinggi dan usaha untuk membentuk jaringan kerjasama (networking) dengan berbagai pihak. Jika tidak mampu, maka lulusan jurusan HI tersebut akan kalah bersaing dengan lulusan Jurusan HI yang terletak di kota-kota besar / ibukota (karena akses yang mudah dengan berbagai instansi terkait seperti Deplu, kantor perwakilan negara sahabat, dsb) dan yang telah memiliki nama besar almamater. Dengan demikian maka perguruan tinggi tersebut dapat dikatakan ikut melahirkan penganggur terdidik. Meskipun begitu, tidak menutup kemungkinan lahirnya diplomat baru sekaliber Ir. Soekarno, Djuanda, Adam Malik ataupun KH Agus Salim dari Kota Malang.