Selasa, 16 September 2008

Otonomi Negara dan Interdependensi



Negara dalam persepsi hubungan internasional sering dianalogikan sebagai entitas yang sama dengan manusia. Seperti halnya manusia, negara memiliki hak untuk diperlakukan sebagai entitas yang otonom. Otonomi negara, seperti yang diungkapkan Pufendorf, merupakan elemen penting dalam moralitas negara yang terdiri atas dua prinsip utama yaitu prinsip non-intervention dan prinsip self-determination.

Prinsip non-intervention secara harfiah diterjemahkan sebagai prinsip tidak mencampuri urusan negara lain, sedangkan prinsip self-determination diartikan sebagai hak negara untuk menentukan ‘nasib’nya sendiri. Berdasarkan pengertian diatas, maka kedua prinsip tersebut secara implisit menunjukkan negara sebagai entitas yang otonom yang merdeka yaitu merdeka dari sesuatu dan merdeka untuk ‘melakukan’ sesuatu. Oleh karena itu, segala bentuk intervensi, kolonialisasi dan imperialisme dianggap sebagai tindakan yang melanggar hak otonomi negara dan equal liberty.

Dalam perkembangan hubungan internasional selanjutnya, muncul pula isu interdependency yang secara harfiah diartikan sebagai hubungan saling ketergantungan. Isu tersebut semakin berkembang sejalan dengan makin banyaknya negara modern dan aktor-aktor hubungan internasional baru yang melakukan interaksi dengan negara lain dalam rangka mencapai kepentingannya masing-masing. Interdependensi secara harfiah merupakan perwujudan manusia (negara) sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bantuan dari manusia lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maka ia akan berinteraksi sesamanya. Negara, seperti halnya manusia, dengan segala kelebihan dan kekurangannya melakukan interaksi dengan negara lain. Intensitas interaksi itulah yang kemudian memunculkan interdependensi (ketergantungan) asing.

Permasalahan yang timbul kemudian adalah banyak negara yang seakan mengorbankan hak otonominya dalam berinteraksi dengan negara lain terutama ketika negara tersebut telah terjerat dalam arus ketergantungan. Dalam kasus regionalisme misalnya, negara-negara yang tergabung dalam organisasi regional tersebut seakan dipaksa untuk meratifikasi kepentingan regional yang mungkin saja berbeda atau bahkan bertentangan dengan hukum dan kepentingan nasional. Dalam kasus lainnya, organisasi regional bahkan menjelma menjadi organisasi supranasional. Akibatnya, dalam penyelenggaraan pemerintahan misalnya, negara tidak dapat menerapkan prinsip self-determination secara penuh mengingat adanya keharusan untuk mengakomodasi kepentingan dari pihak asing. Organisasi internasional bahkan secara nyata melakukan intervensi terhadap suatu negara dengan dalih bermacam-macam misalnya dalam kasus pengelolaan resolusi konflik dan sebagainya.

Interdependency dalam hubungan internasional kontemporer merupakan kondisi yang tidak dapat dielakkan. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah dimana letak otonomi negara (self-determination dan non-intervention) dalam kondisi saling ketergantungan tersebut?


Otonomi Negara: Self-determination dan Non-intervention

Baik self-determination maupun non-intervention, keduanya merupakan simbol kedaulatan negara. Artinya, ketika negara kehilangan prinsip tersebut, maka bersiap-siaplah menghadapi kehancuran. Secara harfiah, prinsip self-determination diartikan sebagai prinsip hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan bertindak sesuai kepentingannya sendiri. Teori Self-determination berdasarkan pada organismic-dialectical meta theory yang mengasumsikan bahwa manusia adalah organisme aktif yang memiliki kecenderungan bawaan untuk tumbuh dan berkembang sehingga diharuskan untuk mandiri serta bekerja keras untuk mengatasi tantangan. Jika dipersonifikasikan dalam entitas negara, maka prinsip self-determination menjadi legitimasi bagi negara untuk mencukupi segala kebutuhannya. Raison d’etatnya, bahwa tujuan nasional adalah segala-galanya mengabaikan moral, subyektifitas personal, bahkan agama.

Prinsip self-determination merupakan salah satu prinsip paling penting dalam praktek dan hukum internasional kontemporer terutama pasca hancurnya imperialisme barat dan selesainya Perang Dunia II. Sebagai hasilnya, prinsip self-determination diterima sebagai prinsip utama dalam hukum internasional. Pada perkembangan selanjutnya, prinsip self-determination menjadi justifikasi bagi negara-negara terjajah untuk merdeka dari kolonialisme dan diperlakukan sama seperti negara lainnya sebagai entitas yang otonom. Hal tersebut dapat dilihat dari digunakannya semangat self- determination dalam setiap deklarasi kemerdekaan semua negara di dunia.

Secara umum, prinsip kebebasan bertindak tersebut dibedakan menjadi dua kategori yaitu kebebasan negatif dan kebebasan positif. Kebebasan negatif (negatif liberty) berarti bebas dari sesuatu, dalam hal ini bisa dikatakan bebas dari penjajahan, kolonialisme dan dominasi dari bangsa lain. Hal ini secara resiprokal mengandung konsekuensi bahwa negara tidak boleh menguasai negara lain dan harus memperlakukannya sebagai entitas yang independen seperti halnya dirinya sendiri. Sedangkan kebebasan positif mengacu pada kebebasan untuk bertindak apapun menurut kepentingannya tanpa adanya gangguan dan campur tangan dari pihak manapun.

Dalam perkembangan selanjutnya, prinsip self-determination tidak lepas dari polemik. Ditinjau dari sejarah, prinsip self-determination diciptakan awalnya untuk menjustifikasi unifikasi bangsa-bangsa yang terpecah di Eropa misalnya antara Itali dan Jerman pada pertengahan abad 19. Pada awal abad 20, prinsip ini digunakan dalam negosiasi mengenai perbatasan dan penyelesaian mengenai klaim kolonial pasca Perang Dunia I. Ironinya, prinsip self-determination malah digunakan untuk mendukung penindasan rasial di Afrika demi sebuah self-rule yang berlaku di kalangan mereka sendiri (bangsa Eropa di Afrika). Dari situlah polemik mengenai self-determination muncul. Disatu sisi, prinsip self-determination digunakan untuk menjustifikasi perilaku negar-negara Eropa untuk melakukan kolonialisasi di Afrika demi memenuhi kebutuhannya. Di sisi lain, bangsa Afrika menggunakan prinsip self-determination untuk membebaskan diri dari kolonialisasi bangsa Eropa.

Sedangkan prinsip non-intervention, secara harfiah, diartikan sebagai prinsip tidak ikut campur terhadap sesuatu. Bila mengacu pada prinsip self-determination diatas, maka prinsip non-intervensi dikategorikan kedalam prinsip self-determination yang negatif yaitu bebas dari campur tangan asing.

Secara umum, ada tiga larangan pokok mengenai intervensi dalam hubungan internasional. Larangan-larangan tersebut berdasarkan personifikasi negara seperti layaknya manusia. Larangan intervensi tersebut yaitu:

  • Intervensi dalam ideologi negara. Seperti halnya manusia yang mempunyai hak untuk memiliki dan mengembangkan keyakinan dan pemikirannya, negara juga berhak untuk menentukan ideologinya sendiri. Untuk itu, intervensi terhadap ideologi dianggap sebagai pelanggaran terhadap hal yang paling mendasar terhadap suatu negara. Bahkan menurut Emmanuel Kant, larangan pemaksaan karakter moral kepada orang lain juga termasuk esensi dari otonomi.
  • Intervensi dalam urusan dalam negeri suatu negara. Larangan terhadap intervensi ini berarti penghargaan terhadap kebebasan individu untuk bertindak dan berperilaku seperti keinginannya.
  • Intervensi dalam netralitas. Ketika suatu negara menentukan posisi netral, berarti ia bertindak menurut keyakinannya sendiri dan mewujudkannya dalam tindakan nyata. Intervensi terhadap netralitas berarti pelanggaran terhadap hak individu untuk bersikap tidak memihak terhadap apapun.

Meskipun begitu, intervensi tidak serta merta dilarang begitu saja. Intervensi masih diperbolehkan ketika:

  • Terdapat adanya pelanggaran terhadap hak asasi manusia oleh negara.
  • Intervensi yang dilakukan berada dalam kadar yang proporsional sesuai dengan pelanggaran yang terjadi.
  • Ada permintaan untuk melakukan intervensi oleh pihak-pihak yang bertikai.
  • Intervensi yang dilakukan bertujuan mulia kecuali bila dilakukan untuk mencapai kepentingan strategis.

Tinjauan Kontemporer: Interdependency

Ketika suatu negara dipersonifikasikan sebagai selayaknya manusia, maka ia akan diperlakukan tidak hanya sebagai makhluk individu, tetapi juga sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial (zoon politicon), manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan manusia lain. Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, kerjasama antar individu mutlak diperlukan mengingat selain keterbatasan manusia itu sendiri, kebutuhan manusia juga tidak terbatas sementara sumberdaya alam sangat terbatas jumlahnya. Begitu juga negara, sebagai bagian dari masyarakat dunia, suatu negara dalam rangka menjamin kehidupannya melakukan interaksi dengan negara lain.

Seiring berjalannya waktu, muncul paradigma baru dalam hubungan internasional yaitu perspektif interdependensi (complex interdependence). Interdependensi (keadaan saling tergantung) merupakan akibat dari interaksi yang semakin erat, berhubungan dan saling terkait. Perspektif yang mulai berkembang pada tahun 1970an ini merupakan hasil kritik terhadap perspektif realis yaitu mengenai asumsi kaum realis bahwa hanya negara sebagai aktor penting dalam politik internasional. Asumsi dasar yang diajukan dalam perspektif interdependensi ini yaitu:

  • Bahwa dalam hubungan internasional kontemporer telah muncul berbagai aktor baru seperti organisasi internasional, perusahaan multinasional, kelompok kepentingan dan bahkan aktor individu. Mereka tidak hanya bertindak sesuai peran dan tugasnya saja melainkan juga bertindak lebih jauh dengan mempengaruhi kebijakan nasional suatu negara untuk mendukung kepentingannya. Dalam pandangan kompleks interdependensi, terjalin konsepsi yang sistemik dan holistik yang memandang politik internasional sebagai hasil dari interaksi bagian-bagian tersebut namun tetap tidak mengabaikan negara.
  • Bahwa telah muncul isu baru dalam hubungan internasional seperti masalah ekonomi, kemiskinan, lingkungan hidup, terorisme dsb. disamping isu-isu yang sudah ada sebelumnya seperti masalah perang dan keamanan dunia. Dengan adanya isu-isu baru tersebut, agenda negara terutama dalam hubungan internasional menjadi semakin luas dan beragam. Mengingat masalah tersebut sudah melewati batas negara (transnasional), maka penanganannya membutuhkan upaya global yang melibatkan banyak kalangan di semua negara.
  • Bahwa kekuatan militer sebagai sarana mencapai kepentingan bukanlah satu-satunya instrumen. Dengan berkembangnya demokrasi, penggunaan kekuatan militer menjadi tidak relevan dan tidak penting. Menciptakan hubungan yang intens, saling menguntungkan dengan penggunaan cara-cara yang damai lebih menjadi prioritas (menjadi trend) bagi suatu negara untuk menciptakan pengaruhnya dalam politik internasional.

Perspektif interdependensi ini berkembang sejalan dengan booming ekonomi yang melanda dunia pasca Perang dunia II dan Perang Dingin. Keadaan pasca perang telah menimbulkan kerusakan sarana dan prasarana baik fisik maupun non fisik baik tingkat lokal maupun internasional. Pembangunan ekonomi merupakan upaya pemulihan dari kondisi tersebut. Perdagangan internasional sebagai bagian dari program pembangunan tersebut kemudian menjadi aspek vital. Perdagangan internasional yang berupa barang dan jasa tersebut kemudian menciptakan hubungan saling ketergantungan. Dalam hal ini, aspek ekonomi kemudian menjadi lebih vital daripada aspek politik meskipun sebenarnya keduanya merupakan integral dan saling mempengaruhi. Selanjutnya, ketika hubungan ketergantungan telah tercipta, maka mekanisme pasarlah yang akan bekerja, menciptakan hubungan liberal-kapital tanpa ada campur tangan pihak lain termasuk negara (mekanisme pasar dijalankan oleh invisible hand lewat tarik ulur permintaan dan penawaran).

Selain interdependensi, kecenderungan global nantinya akan mengarah pada kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme, yang seringkali disinonimkan dengan universalitas, berangkat dari asumsi bahwa tiap individu memiliki nilai moral yang sama sehingga nilai-nilai moralitas tersebut tidak hanya berlaku dalam batas-batas teritorial semata. Kosmopolitanisme berusaha memahami individu dengan menghapuskan diskriminasi lewat esensi-esensi penyusunnya yaitu individualisme, equality, dan universality. Kosmopolitanisme tidak lahir tanpa tujuan. Proyek besar kosmopolitanisme tidak hanya berupa entitas moral yang hanya mementingkan perubahan mindset saja, tetapi juga institusional berupa world government ataupun global governance.

Otonomi Negara dalam Interdependensi

Hubungan internasional kontemporer ditandai dengan lahirnya aktor-aktor baru yang ikut andil dalam politik internasional seperti organisasi internasional, perusahaan multi nasional, kelompok-kelompok kepentingan, bahkan aktor individu. Semua itu tidak lepas dari mulai berkembangnya civil society, dimana individu sebagai warga negara mempunyai kebebasan untuk mengemukakan keinginannya secara langsung, sebagai akibat dari demokratisasi.

Dalam perkembangan selanjutnya, organisasi internasional tumbuh dengan pesatnya baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Dari segi bentuknya, organisasi internsional dibagi menjadi dua yaitu organisasi internasional pemerintah (IGO-Inter Governmental Organization) dan organisasi internasional non-pemerintah (NGO-Non Governmental Organization). Munculnya negara baru pasca Perang Dunia II dan keinginan untuk menjaga perdamaian dunia menjadi motivator berkembangnya organisasi internasional. Faktor-faktor lain yang mendukung hal tersebut yaitu:

  • Meningkatnya komitmen negara-negara terhadap perdamaian dunia dengan menerapkan cara-cara damai seperti kerjasama.
  • Kecenderungan negara-negara untuk bekerjasama dalam kerangka diplomasi multilateral.
  • Munculnya isu-isu baru yang membutuhkan penanganan semua pihak secara global.

Selain organisasi internasional, aktor yang tidak kalah signifikan adalah perusahaan multi nasional. Sebagai aktor di bidang ekonomi, perusahaan multi nasional membawa dampak positif bagi pembangunan dan perkembangan ekonomi baik di negara asal maupun di negara tuan rumah. Perdagangan internasional yang tercipta kemudian berkembang pesat hingga akhirnya terjadi booming ekonomi dunia di akhir abad 19.

Yang terjadi kemudian, dengan tumbuhnya aktor-aktor baru tersebut adalah terciptanya suatu hubungan saling ketergantungan antara negara dengan organisasi internasional maupun dengan perusahaan multi nasional. Hubungan saling ketergantungan tersebut menuntut adanya sifat resiprokal atas keuntungan yang didapat. Negara mendapat keuntungan dari keberadaan organisasi internasional dan perusahaan multi nasional. Disisi lain, negara juga harus memberi konsesi terhadap organisasi internasional maupun perusahaan multi nasional tersebut. Ironinya, konsesi tersebut seolah-olah mengorbankan otonomi negara berupa pelanggaran atas prinsip self-determination maupun prinsip non-intervention yang selama ini menunjukkan kedaulatan negara.

Hal tersebut dapat dilihat misalnya dari adanya intervensi organisasi internasional (PBB) dalam penanganan konflik di berbagai negara. PBB menggunakan kekuasaannya untuk mengintervensi konflik di Kosovo dan Rwanda dengan alasan bahwa pemerintah negara tersebut tidak mampu mengatasi konflik. Intervensi bahkan juga dilakukan negara adidaya seperti Amerika Serikat terhadap berbagai masalah seperti nuklir, lingkungan hidup, terorisme dsb. Intervensi yang dilakukan sering disertai dengan konsesi-konsesi. Sebagai contoh, intervensi PBB, AS dan sekutunya terhadap masalah nuklir di Kore Utara. Intervensi tersebut berupa larangan pengembangan nuklir di Korea Utara. Sebagai imbalannya, maka Korea Utara akan mendapat paket bantuan finansial dan pangan. Akibat intervensi dan tekanan tersebut, negara-negara yang diintervensi seakan-akan tidak dapat berbuat apa-apa kecuali mengulur-ulur waktu.

Dalam kasus lain, muncul pula penjajahan dalam bentuk non konvensional. Penjajahan tersebut tidak dalam bentuk penggunaan kekuasaan militer tetapi dalam bentuk penjajahan ideologi, ekonomi dan budaya. Akibatnya, nilai-nilai lokal terancam hilang dan digantikan dengan nilai-nilai ‘global’. Ideologi negara kemudian digantikan dengan ideologi ‘pada umumnya’ seperti demokrasi, liberalis, dan kapitalis. Di bidang ekonomi, penjajahan non-konvensional tersebut secara sistematik membuat negara terperosok dalam kehancuran akibat hutang yang menumpuk sehingga terjerat dengan ketergantungan terhadap negara-negara donor. Dalam kasus IMF dan Indonesia, lembaga internasional tersebut bahkan sangat jauh mengontrol dan mengintervensi kebijakan moneter Indonesia sehingga Indonesia kehilangan kontrol jangka pendek terhadap perekonomiannya.

Bila diperhatikan, konsep interdependensi berangkat dari aspek ekonomi. Singkatnya, interdependensi digunakan untuk memahami dialektika ekonomi antara dua kutub dalam perekonomian dunia yakni antara yang mendominasi (dominance) dan yang terdominasi (dependence). Dalam kondisi tersebut, tentu saja the dominance terus menerus mengalami surplus profit sementara negara yang berada dalam posisi inferior (the dependence) hanya menikmati surplus pinggiran atau residu yang dari segi kuantitas tidak sebanding dengan dampak sosial yang timbul akibat proses eksploitasi.

Dominasi terhadap negara lain dalam bentuk apapun menimbulkan intervensi dalam semua sendi kehidupan. Legitimasi intervensi dibuat oleh mereka yang kuat dan yang menang. Buktinya, intervensi terhadap ideologi diperbolehkan kepada negara-negara yang dalam menerapkan ideologinya melanggar kedaulatan rakyat. Justifikasi tersebut mengabaikan hak negara untuk mengelola dirinya sendiri atas dasar kemampuan sendiri dengan asumsi bahwa hanya negara sendirilah yang mengetahui kebutuhannya masing-masing.

Dalam kondisi saling tergantung (interdependensi), peran negara akan semakin vital untuk meredam ketergantungan tersebut. Dalam perspektif teori ketergantungan, ada berbagai pilihan untuk mengatasi ketergantungan ini. Teori ketergantungan lama / klasik yang dimotori oleh Andre Gunder Frank dkk. menyarankan agar negara-negara yang terdominasi memutus rantai ketergantungan dengan memutus hubungan ekonomi yang tidak adil tersebut. Gunder Frank melihat bahwa selama negara yang terdominasi tergantung pada negara-negara maju, maka negara-negara tersebut akan semakin miskin karena akumulasi keuntungan yang diperoleh lewat industrialisasi pada akhirnya mengalir kembali ke negara-negara maju. Dalam perspektif ini, lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF tak lain adalah agen dari negara-negara maju untuk melindungi kepentingannya, yakni kepentingan perusahaan multi nasional

Teori ketergantungan klasik ini kemudian diperbaharui oleh FH Cardoso yang melihat faktor pokok ketergantungan tidak hanya semata-mata persoalan eksternal seperti yang dikemukakan oleh teori ketergantungan klasik, melainkan juga adanya faktor internal yakni sistem ekonomi politik yang dianut suatu negara dan perilaku politik pemerintahan yang berkuasa di negara tersebut. Faktor internal yang diperbaiki
diharapkan bisa mengurangi ketergantungan suatu negara berkembang terhadap negara maju maupun lembaga keuangan internasional.

Dengan semakin besarnya kecenderungan negara untuk saling tergantung dan menjadi kosmopolitan, maka upaya yang paling bijaksana adalah mempersiapkan diri sendiri dalam menghadapi kondisi tersebut. Sejalan dengan solusi yang ditawarkan Teori Ketergantungan Modern diatas, persiapan dan pembenahan internal yang dilakukan tidak hanya berbentuk fisik saja, tetapi lebih pada kesiapan mental. Untuk itu, agenda utama yang harus dilakukan adalah memperkuat identitas dan peran masyarakat sipil. Pada dasarnya, negara merupakan pengemban kedaulatan rakyat. Ketika supremasi sipil semakin kuat, secara otomatis negara juga akan semakin berdaulat sehingga dalam menghadapi kondisi interdependensi, negara tidak perlu ‘menggadaikan’ sifat otonom.

Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dunia akan semakin saling tergantung. Kejadian di suatu bagian dunia akan mempengaruhi orang di mana saja sehingga kekuatan maupun aktor luar akan sangat berpengaruh terhadap pembuatan kebijakan nasional. Interdependensi tersebut juga akan semakin meluas ruang lingkupnya, bukan hanya melibatkan hubungan antar negara saja, melainkan melibatkan semua pihak sekaligus. Negara kemudian bukan menjadi satu-satunya aktor, melainkan hanya salah satu aktor global disamping aktor lain seperti organisasi internasional, perusahaan multinasional dsb. maupun aktor yang invisible seperti pasar. Dengan semakin signifikannya peran aktor diluar negara tersebut, negara dituntut untuk akomodatif terhadap berbagai kepentingan aktor-aktor tersebut tanpa mengabaikan kedaulatannya.

Dalam perkembangan selanjutnya, kehidupan politik maupun kehidupan ekonomi juga akan saling mempengaruhi sehingga tidak ada gunanya untuk membedakan keduanya. Karena aspek ekonomi dan politik telah campur aduk dalam berbagai aspek kehidupan, maka kehidupan ekonomi akan sangat bergantung dengan politik, begitu pula sebaliknya.

Interdependensi maupun kosmopolitanisme dalam hubungan internasional adalah sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Mempersiapkan diri sendiri dalam menghadapi tantangan tersebut merupakan pilihan paling bijaksana daripada ‘mengorbankan’ kedaulatan demi mencapai kepentingan. Ketika posisi negara telah berdaulat, maka term self-determination dan non-intervention tidak perlu diredefinisi.

Tidak ada komentar: