Kamis, 11 September 2008

Revitalisasi Kelautan Indonesia: MENGURAI BENANG KUSUT UNTUK MEMINTAL ZAMRUD KHATULISTIWA



Unik dan kompleks. Itulah kata-kata yang dapat menggambarkan kondisi kepulauan Republik Indonesia. Dilihat dari segi geografisnya, luas wilayah Indonesia mencapai kurang lebih delapan juta km2 dengan komposisi luas daratan 1,9 juta km2 dan luas perairan 5,8 km2. Dengan kata lain, cakupan wilayah Indonesia kurang lebih seluas wilayah dari pantai barat AS ke pantai timur AS (barat-timur) dan dari Inggris sampai Turki (utara-selatan).
Dikatakan unik karena letak geografis tersebut berada di posisi silang dua benua dua samudra, dan dua budaya, berupa rajutan lebih dari 17.000 pulau besar dan kecil disertai dengan keberagaman flora, fauna, sumber daya alam bahkan masyarakatnya. Bila dipandang dari ketinggian, gugusan pulau tersebut seakan membentuk mozaik hijau di atas hamparan kain biru yang luas. Jika dikombinasikan dengan garis khayal khatulistiwa, maka archipelago Indonesia dengan berbagai bentuk pulaunya tersebut ibarat batu zamrud yang diuntai sehelai benang yang terletak di tangah dunia membentuk sabuk bumi yang unik dan artistik sepanjang 3200 mil. Tidak salah bila Suardi Suryaningrat pada tahun 1920an menyebut kata Nusantara bagi gugusan kepulauan Indonesia.
Dikatakan kompleks karena pluralitas dan keberagamannya tidak hanya memberikan kekayaan, tetapi juga tantangan. Kekayaan Indonesia terutama lautnya kerapkali diibaratkan dengan kondisi surgawi. Tempat dimana sungai mengalir berkelok-kelok menembus tanah-tanah subur dan hutan hijau mengalir menuju laut biru. Indonesia dianggap sebagai tempat dimana manusia dengan mudah mendapatkan apapun untuk memenuhi segala kebutuhannya, baik kebutuhan jasmaniah maupun rohaniah mengingat sumber daya alamnya yang melimpah. Tidak ada negara manapun seperti Indonesia di dunia ini.

Mengurai Benang Kusut
Kondisi geografis, kekayaan alam dan jumlah penduduk yang melimpah seharusnya menjadikan Indonesia sebagai salah satu kekuatan yang harus disegani. Kenyataannya, Indonesia tidak lebih dari seekor singa yang setengah terlelap yang dicuekin. Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan dan munculnya sengketa Ambalat menunjukkan lemahnya kontrol terhadap wilayah perbatasan di Indonesia. Kapal dan pesawat asing dengan seenaknya keluar masuk teritori Indonesia. Ada ungkapan bahwa negara yang tidak memiliki laut (land-locked country) ibarat rumah tanpa pintu sehingga tamu kesulitan masuk. Namun bagi Indonesia yang memiliki dan dikelilingi laut, menjadi ironi ketika diibaratkan sebagai rumah tanpa pintu juga kerena pemiliknya lupa membuat pintu sehingga tamu bebas keluar masuk seenaknya.
Selain itu, masalah lain adalah munculnya kejahatan unconventional yang sifatnya kini telah melintasi wilayah antar negara (transnational) seperti human trafficking, illegal fishing, pembajakan, bahkan terorisme. Tantangan diatas memang merupakan dampak laten dari luasnya wilayah laut Indonesia. Ironinya, di sisi lain, luasnya laut Indonesia tidak memberi kontribusi yang signifikan pada pembangunan nasional. Ungkapan bahwa laut di Indonesia bukanlah sebagai pemisah pulau-pulau, tetapi perekat antar pulau kemudian menjadi retorika belaka dengan adanya kesenjangan pembangunan diantara pulau-pulau tersebut.
Melihat kenyataan diatas, dibutuhkan penyelesaian masalah yang tepat, komprehensif dan segera dalam rangka revitalisasi sektor kelautan. Ungkapan bijak mengatakan bahwa 50% dari penyelesaian masalah adalah dengan mengidentifikasi masalah, mencari kekeliruan kemudian memperbaikinya. Masalah yang harus diidentifikasi pertama kali harus yang mengenai visi dan argument utama yang melegitimasi tindakan-tindakan selanjutnya. Setidaknya, ada dua kekeliruan argumen yang dibuat di masa lalu: pertama, argumen bahwa Indonesia adalah negara agraris (dibanggakan dengan kemampuan swasembada pangan/beras dan berasisasi makanan pokok) padahal kenyataannya kita adalah negara bahari (maritim). Akibatnya, orientasi pembangunan Indonesia selama bertahun-tahun adalah land-oriented dan seakan-akan menanaktirikan sektor kelautan. Untuk mengakomodasi sektor kelautan, pengertian pertanian kemudian diperluas dengan juga mencangkup kelautan. Seharusnya, sektor kelautan bukanlah sub-pertanian melainkan keduanya berdiri sendiri sejajar mengingat kondisi geografis Indonesia dan kompleksitas sektor kelautan itu sendiri. Kedua, anggapan bahwa wilayah perbatasan adalah daerah terluar dari kesatuan wilayah yang kemudian berakibat pada terabaikannya pembangunan wilayah perbatasan terutama di daerah pesisir. Padahal, wilayah perbatasan adalah garda depan, pintu masuk, sekaligus ‘wajah’ bagi sebuah negara yang harus tegas dan memberi kesan baik kepada siapapun yang memasuki wilayah negara tersebut.

Memintal Kembali Zamrud Khatulistiwa
Setelah sedikit mengurai benang kusut masalah kelautan Indonesia dengan merevisi visi pembangunan Indonesia, saatnya kini memintal kembali kesatuan Zamrud khatulistiwa. Diawali dengan adanya komitmen bahwa pembangunan sektor kelautan merupakan hal yang vital mengingat Indonesia adalah negara bahari melalui optimalisasi dan maksimalisasi segala sumber daya yang sudah ada.. Untuk itu, pembenahan yang pertama dilakukan adalah dengan pemberdayaan wilayah perbatasan terutama daerah pesisir melalui mekanisme otonomi daerah (terdesentralisasi). Yang tidak boleh dilupakan, pemberdayaan melalui desentralisasi bukan dipandang sebagai wilayah kavling-kavling kerja bagi penguasa daerah, melainkan suatu usaha peningkatan partisipasi masyarakat daerah sebagai pemilik daerahnya dalam kerangka pembangunan nasional. Pemberdayaan bagi masyarakat pesisir dan daerah perbatasan tersebut secara spesifik berupa: penentuan batas territorial secara tegas menurut hukum internasional, peningkatan kesejahteraan melalui eksplorasi, eksploitasi, dan konservasi sumberdaya alam setempat, peningkatan kualitas dan akses terhadap pendidikan dan informasi, peningkatan sarana dan prasarana transportasi dan transmigrasi. Pemberdayaan tersebut dilakukan bersama-sama oleh semua pihak terkait baik pusat maupun daerah berdasarkan aspirasi dan prakarsa masyarakat daerah.
Selanjutnya, ya segera bergerak melakukan kebijakan-kebijakan strategis tersebut. Seperti kata AA Gym, mulai dari hal-hal yang kecil dan mulai sekarang, agar kebijakan tersebut tidak mubadzir dan hanya menjadi retorika belaka. Seperti yang telah disebutkan di atas, upaya revitalisasi terhadap apapun memang memerlukan koordinasi dan peran serta semua pihak. Dengan semakin kuatnya civil society, generasi muda pun juga dapat ikut serta mengawal revitalisasi kelautan Indonesia sesuai peran dan bidangnya masing-masing karena memintal kembali zamrud khatulistiwa bukan hanya tugas pemerintah.
Pelaut negara kaya seberang berkata: “Dulu, jumlah ikan tangkapan kita sangat terbatas karena terbatasnya kapal penangkap. Kini, jumlah ikan tangkapan kita juga terbatas karena jumlah ikannya yang semakin sedikit. Tapi ada tempat dimana ikannya tidak habis-habis, Indonesia”. Daripada ikan kita dimakan orang asing disana, alangkah baiknya kalau kita makan sendiri, bukan begitu?

Tidak ada komentar: